TANGGUNG
JAWAB SOSIAL, PERUSAHAAN dan MASYARAKAT
Praktek tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) oleh korporasi besar, khususnya di sektor industri ekstraktif (minyak, gas, dan pertambangan lainnya), saat ini sedang disorot tajam. Kasus Buyat adalah contoh terbaru–bukan terakhir–tentang bagaimana realisasi tanggung jawab sosial itu. Tulisan ini bermaksud menelaah praktek CSR berkaitan dengan peran aktif masyarakat sipil dalam memaknai dan turut membentuk konsep kemitraan yang merupakan salah satu kondisi yang dibutuhkan dalam mewujudkan CSR.
Dalam artikel “How Should Civil Society (and The Government) Respond to ‘Corporate Social Responsibility’?”, Hamann dan Acutt (2003) menelaah motivasi yang mendasari kalangan bisnis menerima konsep CSR. Ada dua motivasi utama. Pertama, akomodasi, yaitu kebijakan bisnis yang hanya bersifat kosmetik, superficial, dan parsial. CSR dilakukan untuk memberi citra sebagai korporasi yang tanggap terhadap kepentingan sosial. Singkatnya, realisasi CSR yang bersifat akomodatif tidak melibatkan perubahan mendasar dalam kebijakan bisnis korporasi sesungguhnya.
Kedua, legitimasi, yaitu motivasi yang bertujuan untuk mempengaruhi wacana. Pertanyaan-pertanyaan absah apakah yang dapat diajukan terhadap perilaku korporasi, serta jawaban-jawaban apa yang mungkin diberikan dan terbuka untuk diskusi? Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa motivasi ini berargumentasi wacana CSR mampu memenuhi fungsi utama yang memberikan keabsahan pada sistem kapitalis dan, lebih khusus, kiprah para korporasi raksasa.
Telaah Hamann dan Acutt sangat relevan dengan situasi implementasi CSR di Indonesia dewasa ini. Khususnya dalam kondisi keragaman pengertian konsep dan penjabarannya dalam program-program berkenaan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Keragaman pengertian konsep CSR adalah akibat logis dari sifat pelaksanaannya yang berdasarkan prinsip kesukarelaan. Tidak ada konsep baku yang dapat dianggap sebagai acuan pokok, baik di tingkat global maupun lokal.
Secara internasional saat ini tercatat sejumlah inisiatif code of conduct implementasi CSR. Inisiatif itu diusulkan, baik oleh organisasi internasional independen (Sullivan Principles, Global Reporting Initiative), organisasi negara (Organization for Economic Cooperation and Development), juga organisasi nonpemerintah (Caux Roundtables), dan lain-lain. Di Indonesia, acuannya belum ada. Bahkan peraturan tentang pembangunan komunitas (community development/CD) saat ini masih dalam bentuk draf yang diajukan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Tak heran jika berbagai korporasi sebenarnya berada dalam situasi “bingung” untuk melaksanakan CSR.
Selain gambaran itu, tampak pula kecenderungan pelaksanaan CSR di Indonesia yang sangat tergantung pada chief executive officer (CEO) korporasi. Artinya, kebijakan CSR tidak otomatis selaras dengan visi dan misi korporasi. Jika CEO memiliki kesadaran moral bisnis berwajah manusiawi, besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR yang layak. Sebaliknya, jika orientasi CEO-nya hanya pada kepentingan kepuasan pemegang saham (produktivitas tinggi, profit besar, nilai saham tinggi) serta pencapaian prestasi pribadi, boleh jadi kebijakan CSR sekadar kosmetik.
Sifat CSR yang sukarela, absennya produk hukum yang menunjang dan lemahnya penegakan hukum telah menjadikan Indonesia sebagai negara ideal bagi korporasi yang memang memperlakukan CSR sebagai kosmetik. Yang penting, Laporan Sosial Tahunannya tampil mengkilap, lengkap dengan tampilan foto aktivitas sosial serta dana program pembangunan komunitas yang telah direalisasi.
Di pihak lain, kondisi itu juga membuat frustrasi korporasi yang berupaya menunjukkan itikad baik. Celakanya, bagi yang terakhir ini, walau dana dalam jumlah besar dikucurkan, manajemen CSR dibentuk, serta strategi dan program dibuat, nyatanya tuntutan serta demo dari masyarakat dan aktivis organisasi nonpemerintah masih tetap berlangsung. Sementara itu, sikap pemerintah sejauh ini masih memprihatinkan.
Secara teoretis CSR mengasumsikan korporasi sebagai agen pembangunan yang penting, khususnya dalam hubungan dengan pihak pemerintah dan kelompok masyarakat sipil. Dengan menggunakan alur pemikiran motivasi dasar, berbagai stakeholder kunci dapat memantau, bahkan menciptakan tekanan eksternal yang bisa “memaksa” korporasi mewujudkan konsep dan penjabaran CSR yang lebih sesuai dengan kondisi Indonesia.
Dari perspektif masyarakat sipil, pola kemitraan sangat menguntungkan karena kegiatan bisnis memiliki berbagai sumber daya penting dan kapabilitas yang dapat digabungkan untuk tujuan-tujuan pembangunan. Misalnya, pembangunan infrastruktur industri pertambangan di wilayah pedalaman mampu menyumbang secara signifikan pada penyediaan berbagai fasilitas publik, yang dapat dilihat dalam perkembangan kota Sangatta, Pekanbaru, dan Balikpapan.
Namun, peran masyarakat sipil dalam pendayagunaan berbagai sumber daya dan kapabilitas perlu disalurkan dan diperkuat oleh organisasi nonpemerintah dan pemerintah. Artinya, kemitraan adalah prasyarat dasar. Dalam khazanah kemitraan dikenal istilah “kompetensi inti pelengkap” (complementary core competencies). Kapasitas rekayasa teknis, logistik, finansial, dan sumber daya manusia yang dimiliki korporasi dapat dipadu dengan modal sosial, ekonomi, budaya, dan pengetahuan lokal. Tentu juga dengan kerangka pembangunan yang lebih luas yang dilakukan pemerintah.
Peningkatan posisi tawar masyarakat sipil masih harus diperjuangkan. Masyarakat sipil perlu memainkan peran lebih aktif dalam membentuk wacana tentang CSR. Hal ini mengisyaratkan kalangan organisasi nonpemerintah juga harus lebih memahami agenda CSR. Bukan hanya retorikanya, tetapi juga unsur-unsur terukurnya, seperti aspek legislasi dan berbagai indikator kuantitatif keberhasilan CSR dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pada kenyataannya, peta pemahaman organisasi nonpemerintah terhadap masalah ini masih sangat bervariasi. Yang tergolong garis keras condong menentang CSR, karena dianggap produk neoliberal dalam rangka penaklukan masyarakat sipil. Ada yang berkompeten, memiliki komitmen, dan dapat berkolaborasi, tapi jumlahnya masih sangat kecil. Bagian terbesar mungkin malahan hanya free rider.
Dalam era kapitalisme global saat ini, eksistensi kapitalis seperti korporasi multinasional adalah keniscayaan. Menafikan keberadaan mereka dalam dinamika pembangunan di berbagai aspek adalah irasional. Sementara itu, menyiasati kehadiran korporasi dalam kerja sama kemitraan yang sejajar untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat bukanlah ilusi. Optimisme dan perjuangan mewujudkan hal itu lebih berarti dari sekadar asal berseberangan.
Pamadi Wibowo
Associate LabSosio Universitas Indonesia
http://www.pdat.co.id/hg/opinions_pdat/2004/09/28/opn,20040928-03,id.html
Praktek tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) oleh korporasi besar, khususnya di sektor industri ekstraktif (minyak, gas, dan pertambangan lainnya), saat ini sedang disorot tajam. Kasus Buyat adalah contoh terbaru–bukan terakhir–tentang bagaimana realisasi tanggung jawab sosial itu. Tulisan ini bermaksud menelaah praktek CSR berkaitan dengan peran aktif masyarakat sipil dalam memaknai dan turut membentuk konsep kemitraan yang merupakan salah satu kondisi yang dibutuhkan dalam mewujudkan CSR.
Dalam artikel “How Should Civil Society (and The Government) Respond to ‘Corporate Social Responsibility’?”, Hamann dan Acutt (2003) menelaah motivasi yang mendasari kalangan bisnis menerima konsep CSR. Ada dua motivasi utama. Pertama, akomodasi, yaitu kebijakan bisnis yang hanya bersifat kosmetik, superficial, dan parsial. CSR dilakukan untuk memberi citra sebagai korporasi yang tanggap terhadap kepentingan sosial. Singkatnya, realisasi CSR yang bersifat akomodatif tidak melibatkan perubahan mendasar dalam kebijakan bisnis korporasi sesungguhnya.
Kedua, legitimasi, yaitu motivasi yang bertujuan untuk mempengaruhi wacana. Pertanyaan-pertanyaan absah apakah yang dapat diajukan terhadap perilaku korporasi, serta jawaban-jawaban apa yang mungkin diberikan dan terbuka untuk diskusi? Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa motivasi ini berargumentasi wacana CSR mampu memenuhi fungsi utama yang memberikan keabsahan pada sistem kapitalis dan, lebih khusus, kiprah para korporasi raksasa.
Telaah Hamann dan Acutt sangat relevan dengan situasi implementasi CSR di Indonesia dewasa ini. Khususnya dalam kondisi keragaman pengertian konsep dan penjabarannya dalam program-program berkenaan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Keragaman pengertian konsep CSR adalah akibat logis dari sifat pelaksanaannya yang berdasarkan prinsip kesukarelaan. Tidak ada konsep baku yang dapat dianggap sebagai acuan pokok, baik di tingkat global maupun lokal.
Secara internasional saat ini tercatat sejumlah inisiatif code of conduct implementasi CSR. Inisiatif itu diusulkan, baik oleh organisasi internasional independen (Sullivan Principles, Global Reporting Initiative), organisasi negara (Organization for Economic Cooperation and Development), juga organisasi nonpemerintah (Caux Roundtables), dan lain-lain. Di Indonesia, acuannya belum ada. Bahkan peraturan tentang pembangunan komunitas (community development/CD) saat ini masih dalam bentuk draf yang diajukan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Tak heran jika berbagai korporasi sebenarnya berada dalam situasi “bingung” untuk melaksanakan CSR.
Selain gambaran itu, tampak pula kecenderungan pelaksanaan CSR di Indonesia yang sangat tergantung pada chief executive officer (CEO) korporasi. Artinya, kebijakan CSR tidak otomatis selaras dengan visi dan misi korporasi. Jika CEO memiliki kesadaran moral bisnis berwajah manusiawi, besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR yang layak. Sebaliknya, jika orientasi CEO-nya hanya pada kepentingan kepuasan pemegang saham (produktivitas tinggi, profit besar, nilai saham tinggi) serta pencapaian prestasi pribadi, boleh jadi kebijakan CSR sekadar kosmetik.
Sifat CSR yang sukarela, absennya produk hukum yang menunjang dan lemahnya penegakan hukum telah menjadikan Indonesia sebagai negara ideal bagi korporasi yang memang memperlakukan CSR sebagai kosmetik. Yang penting, Laporan Sosial Tahunannya tampil mengkilap, lengkap dengan tampilan foto aktivitas sosial serta dana program pembangunan komunitas yang telah direalisasi.
Di pihak lain, kondisi itu juga membuat frustrasi korporasi yang berupaya menunjukkan itikad baik. Celakanya, bagi yang terakhir ini, walau dana dalam jumlah besar dikucurkan, manajemen CSR dibentuk, serta strategi dan program dibuat, nyatanya tuntutan serta demo dari masyarakat dan aktivis organisasi nonpemerintah masih tetap berlangsung. Sementara itu, sikap pemerintah sejauh ini masih memprihatinkan.
Secara teoretis CSR mengasumsikan korporasi sebagai agen pembangunan yang penting, khususnya dalam hubungan dengan pihak pemerintah dan kelompok masyarakat sipil. Dengan menggunakan alur pemikiran motivasi dasar, berbagai stakeholder kunci dapat memantau, bahkan menciptakan tekanan eksternal yang bisa “memaksa” korporasi mewujudkan konsep dan penjabaran CSR yang lebih sesuai dengan kondisi Indonesia.
Dari perspektif masyarakat sipil, pola kemitraan sangat menguntungkan karena kegiatan bisnis memiliki berbagai sumber daya penting dan kapabilitas yang dapat digabungkan untuk tujuan-tujuan pembangunan. Misalnya, pembangunan infrastruktur industri pertambangan di wilayah pedalaman mampu menyumbang secara signifikan pada penyediaan berbagai fasilitas publik, yang dapat dilihat dalam perkembangan kota Sangatta, Pekanbaru, dan Balikpapan.
Namun, peran masyarakat sipil dalam pendayagunaan berbagai sumber daya dan kapabilitas perlu disalurkan dan diperkuat oleh organisasi nonpemerintah dan pemerintah. Artinya, kemitraan adalah prasyarat dasar. Dalam khazanah kemitraan dikenal istilah “kompetensi inti pelengkap” (complementary core competencies). Kapasitas rekayasa teknis, logistik, finansial, dan sumber daya manusia yang dimiliki korporasi dapat dipadu dengan modal sosial, ekonomi, budaya, dan pengetahuan lokal. Tentu juga dengan kerangka pembangunan yang lebih luas yang dilakukan pemerintah.
Peningkatan posisi tawar masyarakat sipil masih harus diperjuangkan. Masyarakat sipil perlu memainkan peran lebih aktif dalam membentuk wacana tentang CSR. Hal ini mengisyaratkan kalangan organisasi nonpemerintah juga harus lebih memahami agenda CSR. Bukan hanya retorikanya, tetapi juga unsur-unsur terukurnya, seperti aspek legislasi dan berbagai indikator kuantitatif keberhasilan CSR dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pada kenyataannya, peta pemahaman organisasi nonpemerintah terhadap masalah ini masih sangat bervariasi. Yang tergolong garis keras condong menentang CSR, karena dianggap produk neoliberal dalam rangka penaklukan masyarakat sipil. Ada yang berkompeten, memiliki komitmen, dan dapat berkolaborasi, tapi jumlahnya masih sangat kecil. Bagian terbesar mungkin malahan hanya free rider.
Dalam era kapitalisme global saat ini, eksistensi kapitalis seperti korporasi multinasional adalah keniscayaan. Menafikan keberadaan mereka dalam dinamika pembangunan di berbagai aspek adalah irasional. Sementara itu, menyiasati kehadiran korporasi dalam kerja sama kemitraan yang sejajar untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat bukanlah ilusi. Optimisme dan perjuangan mewujudkan hal itu lebih berarti dari sekadar asal berseberangan.
Pamadi Wibowo
Associate LabSosio Universitas Indonesia
http://www.pdat.co.id/hg/opinions_pdat/2004/09/28/opn,20040928-03,id.html
0 komentar:
Posting Komentar