PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA BUMN PERTAMINA Profesional dalam Mewujudkan World Class Company Kamis, 9 Desember 2010 Sebagai perusahaan yang tengah bertransformasi menuju perusahaan kelas dunia (World Class Company), BUMN di bidang minyak dan gas ini harus mampu meninggalkan citra negatif warisan masa lalu menuju Pertamina baru dengan tata kelola perusahaan secara transparan dan akuntabel. Implementasi Good Corporate Governance (GCG) yang dilakukan Pertamina sejak 2008. silam, kini hanya satu kata yang tepat untuk melukiskan kultur baru di perusahaan plat merah ini, yakni profesional. BUMN ini secara konsiten telah menerapkan kaidah-kaidah bisnisnya sebagaimana yang terangkum dalam GCG. Apalagi, GCG kini telah menjadi etika bis nis yang berlaku universal bagi perusahaan-perusahaan kelas dunia. Ada lima kaidah dalam GCG, yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibiitas dan independensi. Kaidah-kaidah tersebut menjadi tiket kunci sukses bagi perusahaan yang akan bersaing di kancah global. Pertamina Clean, Pemerintah Indonesia. melalui Kementerian BUMN telah menerbitkan Surat Keputusan No. Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 tentang Penerapan GCG di BUMN. Sejak itu, Pertamina langsung bergerak menyusun langkah-langkah berupa tahapan pelaksanaan implementasi GCG dengan Tim Corporate Governance BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) sebagai mitra kerja sekaligus sebagai konsultan. Dengan adanya program paling mendasar ini menunjukkan secara internal Pertamina ini sudah berbeda dari Pertamina yang lalu. Pembenahan di tubuh Pertamina yang diluncurkan sejak 2004 silam bermuara pada terciptanya tata nilai perusahaan, yakni Clean (bersih), Competitive (kompetitif), Confident (percaya diri), Customer Focused (focus pada pelanggan), Commercial (Komersial) dan Capable (berkemampuan). Terkait pencapaian rating GCG ini, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengatakan, peningkatan score indeks GCG Pertamina dari tahun ke tahun memang makin meningkat. Namun, yang juga tak kalah penting adalah bagaimana Pertamina berusaha untuk terus meningkatkan performance-nya, baik dari keuntungan, volume produksi, hingga kegiatannya. "Ini tantangan besar bagi kami dan ini sudah menjadi komitmen semua direksi," ujar Karen Agustiawan beberapa waktu lalu. Dalam pembenahan secara utuh ini, Pertamina mencanangkan Pertamina Clean sejak tiga tahun silam. Bahkan untuk mendesain Pertamina Clean ini, Pertamina mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ikut meletakkan landasan korporat, perang melawan korupsi. Tanpa melawan korupsi dan membersihkan diri dari korupsi, Pertamina tak. akan bisa melakukan perubahan. Guideline bagi Pekerja Untuk mengimplementasikan Pertamina Clean, ditandatangani Prinsip-prinsip Dasar Integritas Perusahaan untuk dijadikan guideline bagi pekerja Pertamina di semua lini. Prinsip dasar integritas itu antara lain, bertindak jujur, dapat dipercaya, menghindari konflik kepentingan, dan tidak mentolerlir suap. Selain itu, untuk mewujudkan Pertamina Clean, kini Pertamina juga mengembangkan Whistle-blowing System (WBS). Sebuah system yang memungkinkan seseorang melaporkan tindakan pelanggaran atau. pengungkapan perbuatan melawan hukum, perbuatan tidak etis/tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan. Pelapor itu bisa dilakukan oleh karyawan, atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat mengambil tindakan pelanggaran tersebut. "Jangan biarkan, laporkan dan bantu Pertamina menjadi tempat yang aman, adil dan jujur untuk bekerja," ujar Karen Agustiawan. WBS System ini dilaksanakan di Pertamina, tentu dilandasi oleh sebuah survey dari Institute of Business Ethics (2007) yang menyimpulkan, satu di antara empat karyawan mengetahui kejadian pelanggaran. Tetapi lebih dari separuh (52 persen) dari yang mengetahui terjadinya pelanggaran tersebut, tetap diam dan tidak berbuat sesuatu. Ikon Tatakelola Perusahaan Keberhasilan penerapan Good Corporate Governance kini menjadi champion bagi Pertamina. Salah satu pelopor Good Corporate Governance nasional yang menitikberatkan pada aspek transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, dan independensi dalam etika bisnis yang diterapkannya, kini menempatkan Pertamina sebagai perusahaan kokoh dan terpercaya di mata publik. Terbukti sebagai perusahaan besar. Pertamina mampu menjadi model ataupun ikon tatakelola perusahaan yang baik sebagaimana terangkum dalam kaidah Good Corporate Governance dalam pengelolaan bisnis saat ini. Dengan penerapan tata kelola korporasi yang baik di Pertamina, maka secara umum kondisi Good Corporate Governance di kalangan BUMN juga terdorong baik. Jajaran Direksi Pertamina di bawah kepemimpinan Karen Agustiawan akan terus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas publik dengan menjalankan praktik-praktik bisnis sesuai dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance. Untuk itu sebelum memangku jabatan baru sebagai direksi Pertamina, mereka menandatangani Fakta Integritas dan kontrak kerja, untuk memberikan yang terbaik kepada korporasi, serta menolak praktek korupsi dan tidak mau menerima gratifikasi. Melalui implementasi tata nilai perusahaan di kalangan direksi Pertamina, ini akan menjadi inspirasi dan motivasi bagi seluruh jajaran Pertamina untuk mematangkan "Pertamina Baru" yang bebas korupsi dan kolusi. Ke depan, melalui perubahan aspek fundamental ini diharapkan akan mempercepat proses transformasi bisnis Pertamina menuju perusahaan kelas dunia. *** Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=267889
PENERAPAN GCG DALAM PERBANKAN
PENERAPAN GCG DALAM PERBANKAN Bank Mandiri Jadi Ikon Terbaik Rabu, 26 Juni 2013 JAKARTA (Suara Karya): Bank Mandiri terus memperkuat penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG) dalam setiap bisnis proses. Salah satu hasilnya adalah pengakuan dari jurnal Corporate Governance Asian (CGA) sebagai Ikon penerapan GCG terbaik di Tanah Air. Anugerah CGA Annual Recognition Award 2013 : Best of Asia untuk kategori AsiaFs Icon on Corporate Governance diserahkan oleh Publisher CGA Aldrin Monsod kepada Direktur Compliance and Human Capital Bank Mandiri, Ogi Prastomiyono di Manila, Filipina, Selasa malam (25/6). Penghargaan The Best of Asia ini merupakan yang kelima kalinya disematkan kepada Bank Mandiri secara berturut-turut. Penghargaan diberikan atas dasar survei kepada lebih dari 12.000 korporasi dari 15 negara di Asia sebagai responden belum termasuk 120 korporasi lainnya dari kawasan Amerika dan Eropa. Seluruh responden yang memberikan pendapat dalam survei ini merupakan korporasi-korporasi di industri keuangan seperti investors, analysts, fund managers dan investment funds. Ogi Prastomiyono mengatakan, keberhasilan ini akan menjadi motivasi bagi sumber daya manusia di Bank Mandiri untuk memperkuat penerapan prinsip-prinsip GCG dalam seluruh proses perbankan guna mencegah terjadinya tindak kejahatan di bidang perbankan serta terus meningkatkan kinerja. "Kami menyadari penerapan secara komprehensif prinsip-prinsip GCG menjadi faktor penting yang menentukan tingkat profitabilitas dan reputasi sebuah perusahaan serta keberhasilan dalam memberikan nilai tambah kepada stakeholders," ujar Ogi Prastomiyono. Dalam kesempatan itu, CGA juga menyemati Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Riswinandi dengan predikat Best Asian Corporate Director 2013. Penghargaan yang keempat kalinya diraih jajaran pimpinan Bank Mandiri tersebut diberikan atas komitmen untuk menerapkan GCG secara konsisten sebagai budaya kerja sehingga turut berkontribusi pada kinerja finansial perusahaan. Penyaluran kredit Bank Mandiri tumbuh 19,7% dari 327,17 triliun menjadi Rp 391,6 triliun pada Maret 2013 dengan rasio NPL netto terjaga pada 0,57%, jauh dibawah level yang ditetapkan BI yaitu 5%. Adapun nilai aset perusahaan juga tumbuh 17,1% (yoy) dari Rp 546,9 triliun menjadi Rp 640,6 triliun pada Maret 2013. Ogi menjelaskan, penerapan GCG di Bank Mandiri antara lain dilakukan dengan memberlakukan Code of Conduct dan Business Ethic sebagai pedoman berperilaku bagi seluruh jajaran Bank Mandiri mengenai hubungan sesama internal maupun pihak eksternal, seperti pemegang saham, perusahaan afiliasi, investor, pelanggan, pemasok, pemerintah dan masyarakat. (Devita) Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=329367
PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)
PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)
- Transparency (keterbukaan informasi)
- Accountability (akuntabilitas)
- Responsibility (pertanggung jawaban)
- Indepandency (kemandirian)
- Fairness(kesetaraan dan kewajaran)
Penerapan GCG dalam Instansi Pemerintahan
Hal ini sepertinya disadari penuh oleh Pemerintah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Melihat sistem Pengadaan Barang dan Jasa yang selama ini sering bermasalah, Pemkab Luwu Utara berinisiatif untuk menerapkan sistem pengadaan barang dan jasa melalui e-Procurement. E-Procurement yang dimaksud adalah tender pengadaan barang dan jasa secara online dengan basis web atau internet. ”Dulu sebagian besar pejabat dan panitia lelang sering tertangkap dan masuk penjara karena hal ini. Banyak terjadi KKN dan sering tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku,” terang Bapak Ir. Arief R. Pallalo, Kepala Layanan Pengadaan Secara elektronik (LPSE) Pemkab Luwu Utara pada saat menjelaskan tentang e-Procurement kepada para undangan di acara Diskusi BaKTI dengan tema ”E-Procurement: Menutup Rapat Pintu Masuk KKN di Kabupaten Luwu Utara.” Acara diskusi dilaksanakan di Yayasan BaKTI, Jalan Dr. Soetomo No. 26, tanggal 11 Februari. Diskusi ini adalah salah satu diskusi dari rangkaian Acara Diskusi BaKTI yang diadakan tiap bulan. Untuk tahun ini tema yang diusung adalah ”Berbagi Untuk Perubahan”. Tema ini dibuat dalam rangka Yayasan BaKTI mendukung pembangunan melalui semangat berbagi pengetahuan yang membawa perubahan.
Keinginan yang begitu kuat dari Pemkab Luwu Utara terutama didukung penuh oleh Pak Bupati membawa implementasi e-Procurement dapat dijalankan disana. Pak Arif mengatakan bahwa awal dicanangkan sistem ini, Pemkab Luwu Utara tidak mempunyai sarana dan SDM yang layak. Internet tidak ada dan sedikit dari pegawai Pemkab Luwu Utara yang bisa memakai komputer dengan baik. ”Tabe Pak, untuk membangun sistem ini membutuhkan biaya besar dan SDM yang bagus, ini program nekat dan hanya 15 sampai 20 persen yang paham tentang komputer,” lanjut Pak Arif ketika Pemkab Luwu Utara memutuskan untuk membangun sistem e-Procurement. Namun dengan adanya dukungan yang baik dari level eksekutif dan legislatif dapat mengalahkan segala tantangan dan mempercepat proses adopsi e-Procurement. Hal ini juga ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Bupati Luwu Utara Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Proses Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Pemerintah Daerah dengan Sistem e-Procurement, yang diawali dengan Instruksi Bupati Luwu Utara Nomor 1 Tahun 2009 tentang koordinasi dan persiapan dalam rangka pelaksanaan pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Daerah dengan sistem e-Procurement.
Untuk mempersiapkan pelaksanaan e-procurement selanjutnya pemerintah membentuk Sekretariat Layanan e-Procurement yang dimotori langsung Kepala Dinas Komunikasi, Informatika dan Budpar (Kominfobudpar) dengan mengeluarkan Surat Perintah Tugas Nomor 555/13/Kominfobudpar tanggal 12 Februari 2009, Pengelola Sekretariat Layanan e-Procurement sebagian besar direkrut dari para pegawai pemerintah namun untuk efektivitas kerja dilakukan juga pencarian outsource yaitu tenaga pendukung yang direkrut diluar PNS, serta dibentuk pula kelompok kerja ULP yang dimotori langsung oleh Bagian Administrasi Pembangunan Setdakab Luwu Utara. Pemkab Luwu Utara juga melakukan studi Banding ke Pemkot Surabaya dan mengadopsi sistem e-Procurement dengan bentuk semi-electronic selama satu tahun, kemudian tanggal 18 Februari 2010 diputuskan untuk migrasi ke sistem full- electronic yang dikembangkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/jasa Pemerintah (LKPP).
Hasilnya cukup menggembirakan, dibanding dengan sistem manual, pelaksanaan e-procurement jauh lebih baik dan efisien karena hemat waktu dan biaya. Peluang untuk menciptakan celah korupsi, kolusi dan nepotisme juga semakin tidak ada. Menurut Andi Ahmad Yani, staf Edukasi Departemen Administrasi Publik FISIP, Unhas, menyatakan bahwa sudah seharusnya pemerintah menerapkan sistem pelayanan yang berbasis website atau elektronik. Hasil survei menyatakan bahwa di tahun 2005, jumlah pemerintah kota di negara-negara Asia yang memiliki website adalah 78 persen. Dibandingkan dengan tahun 2007 sudah menjadi 89 persen, sehingga ada indikasi terjadinya peningkatan. ”Tidak ada istilah salah pintu lagi, semua terintegrasi, itu implikasi dari pemerintah yang merubah sistem administrasinya, dari yang bersifat bureaucracy (Bureaucratic Administration) ke infocracy (Networking Administration),” lanjutnya. Penerapan e-Government (yang lebih luas dari e-Procurement) akan membuat pengaruh yang baik kepada pemerintah baik itu secara internal dan eksternal. Dari sisi internal Andi Ahmad Yani menyebutkan akan menghindari duplikasi, mengurangi biaya operasional, lebih efisien, mendorong transparansi dan memudahkan koneksi antara unit satu dengan unit lainnya. Dari sisi eksternal Andi melihat pelayanan yang lebih cepat, tingkat partisipasi yang lebih banyak dan keterlibatan masyarakat. Dia juga menyoroti bahwa hanya dua website pemerintah yang menggunakan link e-Procurement LPSE di Sulawesi Selatan, yaitu website Pemkab Luwu Utara dan Pemprov Sulawesi Selatan.
Hal ini senada dengan pernyataan dari Kepala Sub Direktorat Pengembangan e-Procurement LPSE Jakarta, Bapak R. Suryanto. Ia menyatakan bahwa hampir sebagian besar transaksi manual dalam tender pengadaan selalu mengalami masalah dan selalu berbau KKN. Bapak Suryanto mengatakan bahwa dengan e-procurement akan meminimalisir kerugian negara akibat KKN. ”Hampir 80% kerugian negara berasal dari tender dan hampir 30% inefisiensi dana akibat kebocoran dari pengadaan barang dan jasa,”jelas Pak Suryanto. Kemudian dia menjelaskan bahwa dengan e-Procurement pemerintah dan vendor akan menghemat biaya, karena sudah tidak ada biaya biaya cetak lagi, cukup semua berkas di scan dan dikirim via internet. Untuk kedepan pemerintah mempunyai rencana untuk membangun e-Market Nasional, dimana proses audit pun akan menggunakan sistem elektronik, serta disediakan fitur pembelian nasional seperti amazon.com, dimana setiap barang memiliki standar yang sama, sehingga lebih memperkecil adanya kemungkinan penyimpangan dana karena pembelian barang dan jasa.
Acara diakhiri dengan memberikan kesempatan pada peserta diskusi untuk berdiskusi dan bertanya kepada ketiga narasumber. Diskusi tentang e-Procurement ini, dipandu oleh AM Rezky Mulyadi, dari Yayasan BaKTI.
Artikel CSR "TANGGUNG JAWAB SOSIAL, PERUSAHAAN dan MASYARAKAT"
Praktek tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) oleh korporasi besar, khususnya di sektor industri ekstraktif (minyak, gas, dan pertambangan lainnya), saat ini sedang disorot tajam. Kasus Buyat adalah contoh terbaru–bukan terakhir–tentang bagaimana realisasi tanggung jawab sosial itu. Tulisan ini bermaksud menelaah praktek CSR berkaitan dengan peran aktif masyarakat sipil dalam memaknai dan turut membentuk konsep kemitraan yang merupakan salah satu kondisi yang dibutuhkan dalam mewujudkan CSR.
Dalam artikel “How Should Civil Society (and The Government) Respond to ‘Corporate Social Responsibility’?”, Hamann dan Acutt (2003) menelaah motivasi yang mendasari kalangan bisnis menerima konsep CSR. Ada dua motivasi utama. Pertama, akomodasi, yaitu kebijakan bisnis yang hanya bersifat kosmetik, superficial, dan parsial. CSR dilakukan untuk memberi citra sebagai korporasi yang tanggap terhadap kepentingan sosial. Singkatnya, realisasi CSR yang bersifat akomodatif tidak melibatkan perubahan mendasar dalam kebijakan bisnis korporasi sesungguhnya.
Kedua, legitimasi, yaitu motivasi yang bertujuan untuk mempengaruhi wacana. Pertanyaan-pertanyaan absah apakah yang dapat diajukan terhadap perilaku korporasi, serta jawaban-jawaban apa yang mungkin diberikan dan terbuka untuk diskusi? Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa motivasi ini berargumentasi wacana CSR mampu memenuhi fungsi utama yang memberikan keabsahan pada sistem kapitalis dan, lebih khusus, kiprah para korporasi raksasa.
Telaah Hamann dan Acutt sangat relevan dengan situasi implementasi CSR di Indonesia dewasa ini. Khususnya dalam kondisi keragaman pengertian konsep dan penjabarannya dalam program-program berkenaan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Keragaman pengertian konsep CSR adalah akibat logis dari sifat pelaksanaannya yang berdasarkan prinsip kesukarelaan. Tidak ada konsep baku yang dapat dianggap sebagai acuan pokok, baik di tingkat global maupun lokal.
Secara internasional saat ini tercatat sejumlah inisiatif code of conduct implementasi CSR. Inisiatif itu diusulkan, baik oleh organisasi internasional independen (Sullivan Principles, Global Reporting Initiative), organisasi negara (Organization for Economic Cooperation and Development), juga organisasi nonpemerintah (Caux Roundtables), dan lain-lain. Di Indonesia, acuannya belum ada. Bahkan peraturan tentang pembangunan komunitas (community development/CD) saat ini masih dalam bentuk draf yang diajukan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Tak heran jika berbagai korporasi sebenarnya berada dalam situasi “bingung” untuk melaksanakan CSR.
Selain gambaran itu, tampak pula kecenderungan pelaksanaan CSR di Indonesia yang sangat tergantung pada chief executive officer (CEO) korporasi. Artinya, kebijakan CSR tidak otomatis selaras dengan visi dan misi korporasi. Jika CEO memiliki kesadaran moral bisnis berwajah manusiawi, besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR yang layak. Sebaliknya, jika orientasi CEO-nya hanya pada kepentingan kepuasan pemegang saham (produktivitas tinggi, profit besar, nilai saham tinggi) serta pencapaian prestasi pribadi, boleh jadi kebijakan CSR sekadar kosmetik.
Sifat CSR yang sukarela, absennya produk hukum yang menunjang dan lemahnya penegakan hukum telah menjadikan Indonesia sebagai negara ideal bagi korporasi yang memang memperlakukan CSR sebagai kosmetik. Yang penting, Laporan Sosial Tahunannya tampil mengkilap, lengkap dengan tampilan foto aktivitas sosial serta dana program pembangunan komunitas yang telah direalisasi.
Di pihak lain, kondisi itu juga membuat frustrasi korporasi yang berupaya menunjukkan itikad baik. Celakanya, bagi yang terakhir ini, walau dana dalam jumlah besar dikucurkan, manajemen CSR dibentuk, serta strategi dan program dibuat, nyatanya tuntutan serta demo dari masyarakat dan aktivis organisasi nonpemerintah masih tetap berlangsung. Sementara itu, sikap pemerintah sejauh ini masih memprihatinkan.
Secara teoretis CSR mengasumsikan korporasi sebagai agen pembangunan yang penting, khususnya dalam hubungan dengan pihak pemerintah dan kelompok masyarakat sipil. Dengan menggunakan alur pemikiran motivasi dasar, berbagai stakeholder kunci dapat memantau, bahkan menciptakan tekanan eksternal yang bisa “memaksa” korporasi mewujudkan konsep dan penjabaran CSR yang lebih sesuai dengan kondisi Indonesia.
Dari perspektif masyarakat sipil, pola kemitraan sangat menguntungkan karena kegiatan bisnis memiliki berbagai sumber daya penting dan kapabilitas yang dapat digabungkan untuk tujuan-tujuan pembangunan. Misalnya, pembangunan infrastruktur industri pertambangan di wilayah pedalaman mampu menyumbang secara signifikan pada penyediaan berbagai fasilitas publik, yang dapat dilihat dalam perkembangan kota Sangatta, Pekanbaru, dan Balikpapan.
Namun, peran masyarakat sipil dalam pendayagunaan berbagai sumber daya dan kapabilitas perlu disalurkan dan diperkuat oleh organisasi nonpemerintah dan pemerintah. Artinya, kemitraan adalah prasyarat dasar. Dalam khazanah kemitraan dikenal istilah “kompetensi inti pelengkap” (complementary core competencies). Kapasitas rekayasa teknis, logistik, finansial, dan sumber daya manusia yang dimiliki korporasi dapat dipadu dengan modal sosial, ekonomi, budaya, dan pengetahuan lokal. Tentu juga dengan kerangka pembangunan yang lebih luas yang dilakukan pemerintah.
Peningkatan posisi tawar masyarakat sipil masih harus diperjuangkan. Masyarakat sipil perlu memainkan peran lebih aktif dalam membentuk wacana tentang CSR. Hal ini mengisyaratkan kalangan organisasi nonpemerintah juga harus lebih memahami agenda CSR. Bukan hanya retorikanya, tetapi juga unsur-unsur terukurnya, seperti aspek legislasi dan berbagai indikator kuantitatif keberhasilan CSR dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pada kenyataannya, peta pemahaman organisasi nonpemerintah terhadap masalah ini masih sangat bervariasi. Yang tergolong garis keras condong menentang CSR, karena dianggap produk neoliberal dalam rangka penaklukan masyarakat sipil. Ada yang berkompeten, memiliki komitmen, dan dapat berkolaborasi, tapi jumlahnya masih sangat kecil. Bagian terbesar mungkin malahan hanya free rider.
Dalam era kapitalisme global saat ini, eksistensi kapitalis seperti korporasi multinasional adalah keniscayaan. Menafikan keberadaan mereka dalam dinamika pembangunan di berbagai aspek adalah irasional. Sementara itu, menyiasati kehadiran korporasi dalam kerja sama kemitraan yang sejajar untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat bukanlah ilusi. Optimisme dan perjuangan mewujudkan hal itu lebih berarti dari sekadar asal berseberangan.
Pamadi Wibowo
Associate LabSosio Universitas Indonesia
http://www.pdat.co.id/hg/opinions_pdat/2004/09/28/opn,20040928-03,id.html
Artikel CSR "TANGGUNG JAWAB SOSIAL, PERUSAHAAN dan MASYARAKAT"
Praktek tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) oleh korporasi besar, khususnya di sektor industri ekstraktif (minyak, gas, dan pertambangan lainnya), saat ini sedang disorot tajam. Kasus Buyat adalah contoh terbaru–bukan terakhir–tentang bagaimana realisasi tanggung jawab sosial itu. Tulisan ini bermaksud menelaah praktek CSR berkaitan dengan peran aktif masyarakat sipil dalam memaknai dan turut membentuk konsep kemitraan yang merupakan salah satu kondisi yang dibutuhkan dalam mewujudkan CSR.
Dalam artikel “How Should Civil Society (and The Government) Respond to ‘Corporate Social Responsibility’?”, Hamann dan Acutt (2003) menelaah motivasi yang mendasari kalangan bisnis menerima konsep CSR. Ada dua motivasi utama. Pertama, akomodasi, yaitu kebijakan bisnis yang hanya bersifat kosmetik, superficial, dan parsial. CSR dilakukan untuk memberi citra sebagai korporasi yang tanggap terhadap kepentingan sosial. Singkatnya, realisasi CSR yang bersifat akomodatif tidak melibatkan perubahan mendasar dalam kebijakan bisnis korporasi sesungguhnya.
Kedua, legitimasi, yaitu motivasi yang bertujuan untuk mempengaruhi wacana. Pertanyaan-pertanyaan absah apakah yang dapat diajukan terhadap perilaku korporasi, serta jawaban-jawaban apa yang mungkin diberikan dan terbuka untuk diskusi? Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa motivasi ini berargumentasi wacana CSR mampu memenuhi fungsi utama yang memberikan keabsahan pada sistem kapitalis dan, lebih khusus, kiprah para korporasi raksasa.
Telaah Hamann dan Acutt sangat relevan dengan situasi implementasi CSR di Indonesia dewasa ini. Khususnya dalam kondisi keragaman pengertian konsep dan penjabarannya dalam program-program berkenaan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Keragaman pengertian konsep CSR adalah akibat logis dari sifat pelaksanaannya yang berdasarkan prinsip kesukarelaan. Tidak ada konsep baku yang dapat dianggap sebagai acuan pokok, baik di tingkat global maupun lokal.
Secara internasional saat ini tercatat sejumlah inisiatif code of conduct implementasi CSR. Inisiatif itu diusulkan, baik oleh organisasi internasional independen (Sullivan Principles, Global Reporting Initiative), organisasi negara (Organization for Economic Cooperation and Development), juga organisasi nonpemerintah (Caux Roundtables), dan lain-lain. Di Indonesia, acuannya belum ada. Bahkan peraturan tentang pembangunan komunitas (community development/CD) saat ini masih dalam bentuk draf yang diajukan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Tak heran jika berbagai korporasi sebenarnya berada dalam situasi “bingung” untuk melaksanakan CSR.
Selain gambaran itu, tampak pula kecenderungan pelaksanaan CSR di Indonesia yang sangat tergantung pada chief executive officer (CEO) korporasi. Artinya, kebijakan CSR tidak otomatis selaras dengan visi dan misi korporasi. Jika CEO memiliki kesadaran moral bisnis berwajah manusiawi, besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR yang layak. Sebaliknya, jika orientasi CEO-nya hanya pada kepentingan kepuasan pemegang saham (produktivitas tinggi, profit besar, nilai saham tinggi) serta pencapaian prestasi pribadi, boleh jadi kebijakan CSR sekadar kosmetik.
Sifat CSR yang sukarela, absennya produk hukum yang menunjang dan lemahnya penegakan hukum telah menjadikan Indonesia sebagai negara ideal bagi korporasi yang memang memperlakukan CSR sebagai kosmetik. Yang penting, Laporan Sosial Tahunannya tampil mengkilap, lengkap dengan tampilan foto aktivitas sosial serta dana program pembangunan komunitas yang telah direalisasi.
Di pihak lain, kondisi itu juga membuat frustrasi korporasi yang berupaya menunjukkan itikad baik. Celakanya, bagi yang terakhir ini, walau dana dalam jumlah besar dikucurkan, manajemen CSR dibentuk, serta strategi dan program dibuat, nyatanya tuntutan serta demo dari masyarakat dan aktivis organisasi nonpemerintah masih tetap berlangsung. Sementara itu, sikap pemerintah sejauh ini masih memprihatinkan.
Secara teoretis CSR mengasumsikan korporasi sebagai agen pembangunan yang penting, khususnya dalam hubungan dengan pihak pemerintah dan kelompok masyarakat sipil. Dengan menggunakan alur pemikiran motivasi dasar, berbagai stakeholder kunci dapat memantau, bahkan menciptakan tekanan eksternal yang bisa “memaksa” korporasi mewujudkan konsep dan penjabaran CSR yang lebih sesuai dengan kondisi Indonesia.
Dari perspektif masyarakat sipil, pola kemitraan sangat menguntungkan karena kegiatan bisnis memiliki berbagai sumber daya penting dan kapabilitas yang dapat digabungkan untuk tujuan-tujuan pembangunan. Misalnya, pembangunan infrastruktur industri pertambangan di wilayah pedalaman mampu menyumbang secara signifikan pada penyediaan berbagai fasilitas publik, yang dapat dilihat dalam perkembangan kota Sangatta, Pekanbaru, dan Balikpapan.
Namun, peran masyarakat sipil dalam pendayagunaan berbagai sumber daya dan kapabilitas perlu disalurkan dan diperkuat oleh organisasi nonpemerintah dan pemerintah. Artinya, kemitraan adalah prasyarat dasar. Dalam khazanah kemitraan dikenal istilah “kompetensi inti pelengkap” (complementary core competencies). Kapasitas rekayasa teknis, logistik, finansial, dan sumber daya manusia yang dimiliki korporasi dapat dipadu dengan modal sosial, ekonomi, budaya, dan pengetahuan lokal. Tentu juga dengan kerangka pembangunan yang lebih luas yang dilakukan pemerintah.
Peningkatan posisi tawar masyarakat sipil masih harus diperjuangkan. Masyarakat sipil perlu memainkan peran lebih aktif dalam membentuk wacana tentang CSR. Hal ini mengisyaratkan kalangan organisasi nonpemerintah juga harus lebih memahami agenda CSR. Bukan hanya retorikanya, tetapi juga unsur-unsur terukurnya, seperti aspek legislasi dan berbagai indikator kuantitatif keberhasilan CSR dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pada kenyataannya, peta pemahaman organisasi nonpemerintah terhadap masalah ini masih sangat bervariasi. Yang tergolong garis keras condong menentang CSR, karena dianggap produk neoliberal dalam rangka penaklukan masyarakat sipil. Ada yang berkompeten, memiliki komitmen, dan dapat berkolaborasi, tapi jumlahnya masih sangat kecil. Bagian terbesar mungkin malahan hanya free rider.
Dalam era kapitalisme global saat ini, eksistensi kapitalis seperti korporasi multinasional adalah keniscayaan. Menafikan keberadaan mereka dalam dinamika pembangunan di berbagai aspek adalah irasional. Sementara itu, menyiasati kehadiran korporasi dalam kerja sama kemitraan yang sejajar untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat bukanlah ilusi. Optimisme dan perjuangan mewujudkan hal itu lebih berarti dari sekadar asal berseberangan.
Pamadi Wibowo
Associate LabSosio Universitas Indonesia
http://www.pdat.co.id/hg/opinions_pdat/2004/09/28/opn,20040928-03,id.html