Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Mahalnya Sebuah Kejujuran

Mahalnya Sebuah Kejujuran PDF Cetak Surel


Kejujuran ada­lah sikap mo­ral yang dimiliki oleh seseorang. Jujur tidaknya seseorang hanya akan diakui dan dibuktikan oleh orang lain. Sebab kejujuran bukan bentuk penilaian dari dalam diri pribadi, melainkan penilaian yang diberikan oleh orang lain kepada seseorang.
Bila semua orang telah memberikan label jujur kepada seseorang, maka dengan mudah yang bersangkutan melakukan berbagai bentuk komunikasi dan menjalin kerjasama dengan orang lain. Orang yang diajak bekerjasama juga akan memberikan berbagai kemudahan serta bermacam kepercayaan kepadanya.
Dalam kondisi dan situasi yang serba belum menentu, sangat sulit ditemukan orang yang betul-betul jujur (sesuai perkataan dan perbuatan), terlebih bagi seorang pemimpin. Buktinya, banyak pemimpin yang terlilit kasus korupsi. Kebohongan publik yang dilakukan oleh pemimpin terhadap rakyatnya bukan menjadi barang langka untuk diungkap.
Disatu sisi beliau adalah pemimpin yang amanah, na­mun pada kenyataannya dari perbuatan, sikap dan perilaku yang dipertontonkan sangat tidak menunjukkan suri tauladan untuk diikuti. Selalu saja berujung pada ketidak pastian yang membingungkan, dengan memberikan harapan-harapan yang kelabu, sehingga mengundang  tujuan tanpa arah.
Kemelut yang dihadapi bangsa ini dari waktu-kewaktu semakin kompleks, mulai dari masalah kebutuhan pokok, sampai masalah pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat, selalu menjadi persoalan yang tidak kunjung selesai. Keadaan seperti ini seolah-olah dikondisikan sedemikian rupa, sehingga penanganan ke arah itu hanya sebatas perbincangan tanpa tindakan kongkrit.
Secara resmi pemerintah telah memberikan pernyataan kepada  publik, bahwa akan memberikan perhatian dan selalu tanggap terhadap semua persoalan yang menyelimuti masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan, pemenuhan kebutuhan pokok, termasuk penanganan anak-anak terlantar.
Ungkapan ini jelas-jelas telah dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 33 UUD 1945. Tetapi kenapa semua kita seakan melupakan ungkapan tersebut dan selalu berkilah dengan berbagai alasan? Bukankah apa yang pernah terucap melalui publik kepada masyarakat merupakan bentuk janji-janji yang harus ditepati? Sementara apa yang diperbuat tidak sesuai dengan kenyataannya, dan selalu bersembunyi di balik dinding kekuasaan dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal. Demikian juga dalam hal penyelesaian berbagai kasus yang melibatkan para petinggi elit politik dan birokrasi, masih tersandera dengan berbagai kepentingan kelompok untuk mempertahankan kekuasaan.
Kasus demi kasus mengapung yang dipertontonkan kepada masyarakat belum ada yang tuntas. Akan tetapi baru sebatas pengalihan perhatian dari satu kasus ke kasus lain yang tidak kunjung selesai. Padahal masyarakat sangat berharap keseriusan dari sang penegak kebenaran supaya betul-betul dan bersungguh-sungguh menegakkan hukum dengan seadil-adilnya dan sebenar-benarnya.
Kenyataan dalam praktik, bahwa supremasi hukum terlihat sudah ditegakkan. Akan tetapi tujuan akhir dari supremasi hukum yaitu mewujudkan keadilan masih terlihat tebang pilih. Artinya, bahwa supremasi hukum baru menyentuh lapisan menengah ke bawah. Aementara untuk kelompok menengah ke atas masih dalam tahap berupaya dan belum memperlihatkan langkah yang kongkrit, walaupun kondisi saat ini sudah memulai dan menuju pada penegakan hu­kum yang lebih baik dengan berbagai liku dan kemelut yang selalu merintangi berbagai pihak.
Dari perspektif ekonomi politik, logika yang dapat ditarik adalah dampak krisis yang begitu terasa seka­rang ini justru semakin meya­kinkan terlihat kesenjangan yang signifikan dalam berprosesnya pembangunan. Ada sesuatu yang masih terabaikan, yaitu prinsip yang menjadi harapan semua rakyat tentang keadilan dalam distribusi hasil pembangunan dan pendapatan.
Kenyataan yang ditemui adanya sekelompok sosial yang diuntungkan, kemudian berkembang dengan beragam fasilitas membentuk kelompok sosial baru dengan tingkat akselerasi jauh meninggalkan kelompok sosial lainnya. Ironisnya mereka yang menikmati keuntungan tersebut hanyalah kelompok minoritas, sehingga sangat terlihat perbedaannya di tengah-tengah kelompok sosial mayoritas yang justru semakin ter­marjinalisasikan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutan tertulis yang disampaikan ketika melantik beberapa orang menteri dan wakil menteri pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II,  secara lugas mengatakan bahwa Rp 103,19  triliun keuangan negara telah  dirampok dalam 7 tahun terakhir masa kepemimpinannya.
Disini semakin  memperlihatkan bahwa evaluasi yang dilakukan selama ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Secara nyata juga telah memperlihatkan bahwa SBY mengalami ketidak berda­yaan dalam mengatasi dan mencegah  terjadinya perampokan yang dilakukan oleh apartur negaranya sendiri. Dalam artian bahwa selama 7 tahun terakhir rakyat telah membayar begitu mahal sebuah ketidak jujuran dari aparatur penyelenggara negara, dengan melakukan pembohongan atas kewenangan yang dimiliki, karena rendahnya moral, etika, serta nilai-nilai keagamaan yang tertanam dalam diri aparatur penyelenggara negara.
Rakyat telah terbiasa hidup dalam penderitaan.  Akan tetapi yang lebih dibutuhkan masyarakat saat ini adalah sebuah kejujuran dan keadilan dari aparatur negara dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Senyatanya, tidak ada ungkapan terlambat untuk merubah dan memperbaiki moral dan etika bagi apartur negara. Akan tetapi yang sangat dibutuhkan adalah sebuah komitmen dan usaha sungguh-sungguh  dari semua unsur eksekutif, legislatif,  yudikatif  dan masyarakat.
Sistem pengawasan perlu lebih dikembangkan, sehingga semua sistem administrasi pemerintahan  mendapat pengawasan yang ketat, baik secara internal maupun  dengan kejujuran (integrity), dan kompetensi para pejabat pemerintah, serta perlu penyadaran berkesinambungan kepada semua aparatur pemerintah bahwa dampak korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan akan mendatangkan kekecewaan yang luar biasa di tengah-tengah masya­rakat, serta ketidak percayaan rakyat terhadap pemerintah semakin mengkristal, yang akan merugikan bangsa dan negara itu sendiri.
Oleh karena itu, tanamkanlah kejujuran dan jadikan kejujuran sebagai pondasi dalam membangun bangsa dan negara dimasa depan. Hanya dengan kejujuran dan keikhlasan, Tuhan Yang Ma­ha­kuasa akan selalu memberikan kekuatan, kesehatan dan semangat kepada hamba-hamba-Nya yang menginginkan perubahan menuju perubahan yang lebih baik dimasa mendatang.
Kebulatan tekad semua stakeholders untuk secara bersama-sama menyatakan komitmen membangun kejujuran pada semua lini akan menjadi inspirasi tumbuh dan berkembangnya kejujuran pada setiap insan penyelenggara negara, terutama bagi mereka yang berada pada puncak-puncak pengambil kebijakan. Semoga niat baik ini mendapat Ridho dari Allah SWT. (***)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar